
Selain itu warna suaranya juga khas,
seperti suara orang tercekik, nadanya tinggi, berbeda dengan suara raksasa pada
umumnya yang bernada rendah dan lantang. Hampir dalam setiap lakon ia muncul
sebagai ‘komandan’ pasukan raksasa yang bertugas menjaga atau tapal batas
kerajaan tertentu, Namun, dalam beberapa lakon tertentu Cakil juga tampil
dengan peran menonjol.
Cakil muncul dalam lakon-lakon
wayang dengan berbagai nama, antara lain Ditya Kala Gendir Penjalin, Ditya Kala
Carang Aking, Kala Klantang Mimis. Ki Dalang kadang-kadang bahkan menciptakan
nama baru bagi tokoh ini. Ia merupakan satu-satunya raksasa yang bersenjata
keris, bukan satu tetapi dua, kadang-kadang tiga, tetapi selalu mati tertusuk
kerisnya sendiri.
Cakil pada Panggung Wayang Orang
gaya Surakarta. Perang antara Cakil dengan tokoh ksatria Bambangan merupakan
tari perang yang indah. Di Surakarta perang ini disebut Perang Kembang,
sedangkan di Yogyakarta disebut Perang Begal
Tokoh peraga wayang Cakil oleh
kebanyak dalang Wayang Kulit Purwa juga digunakan sebagai wayang srambahan untuk
memerankan tokoh Kala Marica, anak buah Prabu Dasamuka dalam peristiwa
penculikan Dewi Sinta pada seri Ramayana. Namun, pada perangkat Wayang Kulit
Purwa yang lengkap, diciptakan tokoh peraga Wayang Kulit untuk peran Kala
Marica. Bentuknya serupa sekali Cakil, tetapi rambutnya terurai, tidak
digelung.
Perang antara Cakil dengan tokoh
ksatria Bambangan disebut perang kembang, atau perang
begal, hampir selalu muncul pada setiap lakon wayang. Perang itu
ditampilkan baik pada pergelarang Wayang Kulit Purwa maupun pertunjukan Wayang
Orang.
Pada adegan itulah biasanya Ki
Dalang mempertunjukkan kemahirannya dalam sabetan, yakni
ketrampilan menggerakkan peraga wayang. Gerakan sabetan pada
Wayang Kulit Purwa, maupun pada gerakan penari pemeran tokoh Cakil dalam
pertunjukan Wayang Orang, dipengaruhi gerakan jurus-jurus pencak silat.
Tokoh Cakil hanya terdapat dalam
dunia pewayangan Indonesia, dan tidak ada dalam Kitab Mahabarata. Tokoh wayang
raksasa, yang kedua tangannya dapat digerakkan (tokoh raksasa pada Wayang Kulit
Purwa pada umumnya hanya dapat digerakkan tangan depannya saja, kecuali tokoh
raksasa tertentu), itu diciptakan oleh seniman pencipta wayang pada zaman
Mataram, tepatnya tahun 1630 atau 1552 Saka. Ini ditandai dengan candra
sengakala yang berbunyi Tangan Yaksa Satataning Janma. Dengan
demikian dapat diketahui bahwa Cakil diciptakan pada zaman pemerintahaan Sultan
Seda Krapyak, raja Mataram kedua.
Karena Cakil selalu mati tertusuk
kerisnya sendiri, dalam masyarakat Jawa sering dipakai sebagai contoh perilaku
yang buruk. Jika seseorang sering kena musibah akibat ulah dan perilakunya
sendiri, maka orang semacam itu dikatakan tingkahnya seperti Buta Cakil.
Sebelum kematiannya, Cakil biasanya
bercanda dulu, lalu bertengkar dengan para punakawan.
Cakil termasuk salah satu dari Buta
Prepat atau Raksasa Empat Sekawan. Tiga jenis raksasa lainnya yang
juga tergolong Buta Prepat adalah Buta Rambut Geni, Buta
Terong, dan Bragalba (Pragalba).
Dalam pewayangan mereka selalu
muncul dalam adegan pencegatan ksatria yang sedang dalam perjalanan. Dan,
mereka semua selalu mati.
Bagi pecinta wayang yang memandang
budaya wayang dari sudut falsafah, adegan ini melambangkan seorang ksatria yang
berhasil menaklukkan empat nafsu pribadinya, yaitu amarah, aluamah,
sufiah, dan mutmainah. Keempat raksasa prepat itu
mewakili keempat nafsu manusia.
Dalam seni kriya Wayang Kulit Purwa,
tokoh Cakil dirupakan dalam empat wanda, yakni wanda Kikik atau Benceng,
Bathang atau Cicir, Naga, dan Udalan. Pada
pedalangan di Surakarta, Cakil wanda Udalan lebih sering
digunakan pada pergelaran lakon-lakon yang tergolong pada kelompok lakon
Ramayana dan Lokapala.
Tokoh wayang Cakil bukan hanya
terdapat pada Wayang Kulit Purwa, dan Wayang Orang, juga pada Wayang Golek
Purwa Sunda.
Baca juga PERANG KEMBANG.